Jangan Suka Mengutuk (Melaknat)
JANGAN SUKA MENGUTUK (MELAKNAT)
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada seseorang yang tidak ada nabi sesudahnya. Adapun sesudah itu:
Tidak diragukan lagi, sesungguhnya di antara tujuan risalah Islam adalah membersihkan akhlak (budi pekerti), mensucikan jiwa, memurnikan perasaan, menyebarkan cinta dan kasih sayang, serta semangat tolong menolong dan rasa persaudaraan di antara kaum muslimin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [HR. Ahmad dan ath-Thabrani].
Ada penyakit besar yang tersebar di antara semua lapisan masyarakat dalam berbagai usia dan tingkatan pendidikannya. Penyakit besar yang anak kecil tumbuh atasnya, yang tua menaikinya, dan banyak disepelekan oleh para orang tua dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, pemuda dan pemudi. Penyakit besar yang terlahir darinya sifat dengki, bangkitnya sifat dendam, berhembuslah angin permusuhan dan kebencian disebabkannya. Penyakit besar yang dimurkai oleh Rabb Subhanahu wa Ta’ala, mengeluarkan hamba dari catatan orang-orang shalih dan memasukkannya dalam golongan orang-orang durhaka yang fasik. Sesungguhnya ia adalah mencela, mengutuk (melaknat), perkataan kotor, lisan yang keji. Maka engkau menemukan seorang ayah mencela anak-anaknya dan mengutuk mereka, dan ibu juga melakukan hal yang sama, sedangkan keduanya tidak menyadari bahwa hal itu termasuk dosa besar dan kesalahan yang fatal. Dan engkau mendapatkan seorang teman mencela temannya sendiri, lalu ia menjawab atasnya dengan mencela ibu dan ayahnya. Sehingga seorang anak kecil, engkau mendapatkan dia mulai membiasakan mencela dan mengutuk orang lain. Terkadang ia melakukan hal itu kepada bapak dan ibunya, sedangkan keduanya memandang kepadanya dengan rasa senang dan gembira. Sesungguhnya wajib kepada setiap orang yang berakal agar selalu menjaga lisanya dan tidak membiasakan mencela dan mengutuk, sampai kepada pembantu dan anaknya yang masih kecil. Bahkan bersama apapun juga dari benda padat atau hewan. Maka sesungguhnya ia tidak akan aman apabila ia mencela seseorang manusia atau mengutuknya bahwa ia membalas seperti ucapannya, atau menambahinya, lalu bangkitlah kemarahannya dan menyeretnya kepada sesuatu yang tidak terpuji akibatnya. Berapa banyak tindakan kriminal yang terjadi yang bermula dari kutukan dan celaan, dan api besar berasal dari percikan api yang kecil.
Apabila ia mencela seorang manusia atau mengutuk seorang muslim, maka sungguh ia telah menyakitinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [al-Ahzab/33:58]
Penyakit Lisan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah tindakan kufur.” [Muttafaqun ‘alaih].
An-Nawawi rahimahullah berkata: as-Sabb secara etimologi berarti: mencela dan berbicara tentang kehormatan manusia dengan sesuatu yang mencelanya. Dan al-Fisq secara bahasa berarti keluar, dan yang dimaksud dengannya dalam syari’at adalah keluar dari ketaatan. Maka mencela seorang muslim secara tidak benar adalah haram berdasarkan ijma’ umat dan pelakunya adalah orang fasik, seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ (Syarh Muslim: 2/241).
Maka apakah orang-orang yang melepaskan lisan mereka karena mencela dan merobek kehormatan kaum muslimin membayangkan bahwa dengan hal itu mereka menjadi orang-orang fasik yang keluar dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ketahuilah, hendaklah bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala orang-orang yang melepaskan lisan mereka hingga mendatangi kebinasaan dan memetik kerugian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِباَبُ الْمُسْلِمِ كَالْمُشْرِفِ عَلَى الْهَلَكََةِ
“Mencela seorang muslim adalah bagaikan orang yang mendatangi kebinasaan.” [HR. al-Bazzar dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani].
Ancaman Bagi Orang yang Memulai Mencela
Sesungguhnya orang yang memulia mencela, dialah yang memikul dosa sendirian, apabila orang yang dicela memaafkan atau membela diri sekadar kezalimannya dan hal itu tidak melewati kepada sesuatu yang dizalimi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ، فَعَلَى الْبَادِىِء مِنْهُمَا، مَالَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمُ
“Doa orang yang mencela adalah menurut apa yang mereka ucapkan, maka dosa atas orang yang memulia dari keduanya, selama yang dizalimi tidak melewat batas.” [HR. Muslim].
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa faedah sekitar hadits ini, di mana dia berkata:
- Maksudnya sesungguhnya dosa saling mencela yang terjadi di antara dua orang adalah khusus untuk yang memulai dari keduanya, kecuali orang kedua melewati batas atas dari sekadar membela diri, seperti ia mengatakan kepada yang memulia melebih apa yang dia ucapkan.
- Dan dalam hal ini boleh membela diri, dan tidak ada perbedaan tentang bolehnya dan sangat jelas dalil-dalil dari al-Qur`an dan sunnah. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ مَا عَلَيْهِمْ مِّنْ سَبِيْلٍۗ
Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka. [asy-Syura/42 :41]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُوْنَ
Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. [asy-Syura/42:39]
- Kendati demikian, sabar dan memaafkan lebih utama. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. [asy-Syura/42 :43]
Dan bagi hadits yang disebutkan setelah ini:
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menambah kepada hamba sifat maaf kecuali kemuliaan.”
- Dan ketahuilah, sesungguhnya mencela seorang muslim dengan cara yang tidak benar adalah haram, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
“Mencela seorang muslim adalah fasik.”
- Yang dicela tidak boleh membela diri kecuali dengan semisalnya selama tidak bohong, atau menuduh berzinah, atau mencela pendahulunya. Di antara gambaran yang dibolehkan dalam membela diri adalah dengan kata (wahai orang yang zalim) (Wahai orang yang bodoh) (Wahai orang yang tidak bersendal), atau semisal yang demikian itu. Karena tidak ada seorang pun yang terlepas dari sifat-sifat ini.
- Mereka berkata: apabila yang dicela membela diri, niscaya ia telah membalas kezalimannya dan terlepas yang pertama dari haqnya, dan tersisa atasnya dosa memulai, atau dosa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (dari syarah Shahih al-Bukhari).
Dan apabila yang dicela membalas dengan tindakan melampaui batas niscaya dosa atas keduanya. Dari Iyadh bin Hamar Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Aku berkata, ‘Wahai Nabiyallah, seseorang mencelaku, sedangkan dia di bawah aku, bolehkan aku membela diri darinya?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ.
“Dua orang yang saling mencela adalah syetan, saling bermusuhan dan berbohong.” [HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al-Albani].
Diantara Dosa-dosa Besar
Jauhilah –wahai saudaraku- bahwa engkau menjadi penyebab dalam mencela kedua orang tuamu maka jadilah engkau seperti mencela keduanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قال : (( يَسُبُّ أَبَا اَلرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ))
“Di antara dosa besar adalah seseorang mengutuk kedua orang tuanya.’ Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencela kedua orang tuanya? Beliau bersabda, ‘Dia mencela bapak seseorang lalu ia mencela bapaknya, dan ia mencela ibunya lalu ia mencela ibunya.”[HR. al-Bukhari].
Dan sangat disayangkan bahwa hal itu banyak tersebar di antara anak-anak kaum muslimin dan para pelajarnya. Ini –demi Allah Subhanahu wa Ta’ala- membuktikan kemunduran dalam pendidikan dan kelalaian para wali yang tidak mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang keutamaan, akhlak yang baik dan perilaku yang indah. Ini merupakan ancaman pada orang yang menjadi penyebab dalam mencela ayah dan ibunya, tanpa mencela keduanya secara langsung. Maka bagaimana kondisi orang yang mencela keduanya dengan dirinya sendiri secara langsung, maka ia mencela dan mengutuk keduanya, bahkan ada yang berani memukul keduanya, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penyakit Mengutuk
Adapun mengutuk, maka sungguh terhadap ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ
“Mencela seorang muslim adalah seperti membunuhnya.” [Muttafaqun ‘alaih].
Renungkanlah wahai saudaraku besarnya dosa membunuh seorang mukmin dan beratnya dosanya, serta gambaran hukuman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya berupa siksaan, kutukan dan kemurkaan di dunia dan akhirat, niscaya engkau mengetahui dengan hal itu bahaya mengutuk dan terus menerus padanya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [an-Nisaa`/4 :93]
Ini adalah balasan pembunuh seorang mukmin yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang mengutuknya dengannya, maka dosa apakah ini? dan kesalahan apakah itu? Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang mukmin yang sempurna imannya tidak akan menjadi orang yang suka mengutuk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يكون المؤمن لعاناً
“Seorang mukmin tidak menjadi orang yang suka mengutuk.” [HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani].
Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tindakan saling mengutuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلاَعَنُوا بِلَعْنَةِ اللَّهِ وَلاَ بِغَضَبِهِ وَلاَ بِالنَّارِ
“Janganlah kamu saling mengutuk dengan kutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pula dengan murka-Nya, dan tidak pula dengan api.” [HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi dan ia berkata: hasan shahih]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan turunnya kedudukan orang-orang yang suka mengutuk di hari kiamat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يَكونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَومَ القِيَامَةِ
“Orang-orang yang suka mengutuk tidak akan menjadi pemberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi di hari kiamat.” [HR. Muslim].
An-Nawawi rahimahullah memberikan komentar tentang hadits ini: ‘Dalam hadits ini merupakan ancaman mengutuk, dan sesungguhnya orang yang berperilaku dengannya, tidak adalah padanya sifat yang indah, karena mengutuk dalam doa dimaksudkan dengannya dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa dengan ini bukan termasuk akhlak orang-orang beriman yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sikap saling menyayangi di antara mereka dan tolong menolong di atas kebaikan dan taqwa, dan menjadikan mereka bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya, dan seperti satu jasab. Dan sesungguhnya seorang mukmin mencintai saudaranya apa-apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang mendoakan atas saudaranya yang muslim dengan kutukan –yaitu dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala- itulah puncak boikot dan saling membelakangi. (Syarh Shahih Muslim 16/364).
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Jamudz al-Juhani Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أوصيك ألا تكون لعاناً
“Aku berpesan kepadamu bahwa janganlah engkau suka mengutuk.” [HR. ath-Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani].
Dan Salamah bin Akwa’ Radhiyallahu anhu berkata: ‘Apabila kami melihat seseorang mengutuk saudaranya, kami melihat bahwa ia telah mendatangi satu pintu dari dosa besar.”
Kemanakah Perginya Kutukan itu?
Apakah engkau mengetahui wahai orang yang suka mengutuk, sesungguhnya kutukanmu naik ke atas langit, lalu penghuni langit berlari darinya karena takut akan menimpa mereka? Apakah engkau mengetahui bahwa ia turun ke bumi setelah itu, lalu berlarianlah semua makhluk darinya karena takut akan menimpa mereka? Apakah engkau mengetahui bahwa ia pergi setelah itu ke kiri dan kanan hingga menemukan orang yang pantas mendapatkannya? Apakah engkau mengetahui bahwa ia kembali kepadamu apabila orang yang dikutuk tidak berhak mendapatkan kutukanmu? Dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya apabila seorang hamba mengutuk sesuatu, naiklah kutukan itu ke atas langit, lalu ditutup pintu-pintu langit karenanya. Kemudian turun ke bumi, lalu ditutup pintu-pintunya karenanya. Kemudian ia mengambil kanan dan kiri, maka jika ia tidak menemukan tampat, niscaya ia kembali kepada yang dikutuk, jika ia pantas menerimanya, dan jika tidak niscaya ia kembali kepada yang mengucapkannya.’ [HR. Abu Daud dan dinyatakan hasan lighairih oleh al-Albani].
Maka karena apakah engkau memikul dosa besar ini atas dirimu –wahai saudaraku- dan kenapa engkau terus melakukan dosa besar ini? Dan kenapa engkau tidak membiasakan lisanmu dengan doa untuk putra-putrimu sebagai pengganti laknat dan kutukan untuk mereka? apakah engkau tidak merasa khawatir bahkan kutukanmu itu kembali kepadanya dan di saat waktu yang dikabulkannya doa, lalu engkau terusir dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jadilah engkau termasuk orang yang dijauhkan lagi terusir? Apakah engkau tidak merasa takut bahwa engkau bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisan yang diulurkan pada kehormatan kaum muslim? Apakah engkau tidak merasa khawatir bahwa kebaikan dan keburukanmu dalam timbangan yang sama, lalu datanglah kutukanmu, maka timbangan keburukanmu menjadi lebih banyak lalu engkau masuk neraka karenanya?
Menutup Lorong-lorong Mengutuk
Sesungguhnya sebagian manusia tidak selamat darinya sehingga benda padat dan hewan. Maka engkau melihat dia mencela, mengutuk, dan memukul segala sesuatu di sekitarnya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup segala celah yang membawa kepada mencela dan mengutuk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencela atau mengutuk segala sesuatu yang tidak pantas untuk dikutuk, sekalipun hewan atau benda padat. Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di salah satu perjalanannya, dan seorang wanita dari kaum Anshar berada di atas untanya, lalu ia membentak dan mengutuknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu lalu bersabda:
خُذُوْا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوْهَا، فَإِنَّهَا مَلْعُوْنَةٌ
“Ambilah apa yang ada di atasnya dan tinggalkannya ia, maka sesungguhnya ia telah terkena kutukan.”
Imran Radhiyallahu anhu berkata: Maka seolah-olah aku melihatnya sekarang berjalan di tengah-tengah manusia, tidak ada seorangpun yang menolehnya. HR. Muslim. An-Nawawi rahimahullah berkata: Sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu sebagai bentakan untuknya dan selainnya, dan ia dan selain dia sudah pernah dilarang mengutuk, maka ia diberikan sangsi dengan melepaskan unta. Maksudnya adalah larangan baginya menyertakan unta itu di dalam perjalanan. (Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi: 16/363). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا الدِّيْكَ فَإِنَّهُ يُوْقِظُ للِصَّلاَةِ
“Janganlah engkau mencela ayam jantan, maka sesungguhnya ia membangunkan untuk shalat.” [HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh al-Albani.]
Sesungguhnya keagungan Islam agar berhias dalam pengarahan tata krama yang tinggi ini, yang menjaga hak binatang secara jasmani dan maknawi, dan yang mengharamkan segala bentuk menyakiti dengan cara yang tidak benar. Andaikan para penyeru penyayang binatang mengetahui keutamaan Islam dalam masalah ini, dan andaikan mereka mengakui untuk Islam yang telah lebih dulu dalam bidang ini, yang mereka merasa bangga dengannya dan mengira bahwa mereka adalah orangnya. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, sesungguhnya seorang laki-laki mengutuk angin di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنِ الرِّيْحَ فَإِنَّهَا مَأْمُوْرَةٌ، مَنْ لَعَنَ شَيْئاً لَيْسَ لَهُ بأهْلٍ، رَجََعتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengutuk angin, maka sesungguhnya dia melaksanakan perintah. Barangsiapa yang mengutuk sesuatu yang tidak pantas niscaya kutukan itu kembali kepadanya.” [HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani]
Dan dari Jabir Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkunjung kepada Ummu Saib, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Kenapa engkau mengeluarkan nafas panjang? Ia menjawab: Demam, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan berkah padanya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَسُبِّي الْحُمَى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ الُخبث
‘Janganlah engkau mencela demam, maka sesungguhnya ia menghilangkan kesalahan keturunan Adam Alaihissallam sebagaimana ubupan (alat peniup api) tukang besi menghilangkan karat.” [HR. Muslim].
Dari penjelasan terdahulu jelaslah bahwa Islam berusaha agar seorang mukmin bersih lisan, manis tutur kata, indah ucapan, tidak ada sesuatu yang menjelekkannya, dan tidak ada yang menodai kehormatannya.
Hukum Mengutuk Kepada Seseorang Secara Khusus
Tidak diragukan lagi, sesungguhnya seorang mukmin yang tertentu tidak boleh mengutuknya saat hidup dan matinya, berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan sebagiannya. Adapun orang kafir secara tertentu, maka tidak boleh mengutuknya jika ia tidak mati di atas kekufuran, karena ia tidak tahu apakah kesudahannya nanti. Tidak ada alasan mendoakan seseorang mati di atas kekafiran. Dan hal itu ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa di hari perang Uhud: ‘Ya Allah, kutuklah Abu Sufyan, ya Allah kutuklah Harits bin Hisyam, ya Allah kutuklah Sahal bin Amr, ya Allah kutuklah Syafwan bin Umayyah.” Lalu turunlah ayat:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. [ali Imran/3:128]
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat mereka. HR. Ahmad dan at-Tirmidzi. Dan dalam riwayat al-Bukhari: ‘Ya Allah, kutuklah fulan dan fulan.” Maka apabila tidak boleh mengutuk orang kafir secara khusus yang belum mati di atas kekufuran, maka demikian pula tidak boleh mengutuk orang fasik secara khusus atau orang zalim secara khusus tentu lebih utama lagi. Namun boleh melakukan hal itu dengan menyebut sifat-sifat secara umum, seperti dikatakan: Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuk para pezina, atau terhadap para pembohong, dan semisal yang demikian itu. (Lihat kitab: Akhlaqud diniyyah, karya Abdurrahman al-Jaziri, hal 111).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutuk beberapa golongan orang-orang yang durhaka tanpa menentukan, seperti orang yang bertato dan yang minta ditato, wanita yang menipiskan kening dan yang meminta hal itu, pemakan riba dan yang mewakilkannya, peminum arak, muhallil (yang menikahi wanita agar dia bisa kembali kepada mantan suaminya yang telah menceraikannya dengan talak tiga) dan muhallal lah (mantan suami wanita tersebut), dan selain mereka yang sangat banyak. Adapun orang yang diyakini wafatnya di atas kekufuran seperti Fir’aun, Abu Jahal dan selain keduanya maka boleh mengutuknya. Seorang muslim harus membersihkan lisannya dari mencela dan mengutuk kecuali apabila adalah kepentingan khusus.
Adab Salafus Shaleh
Saudaraku yang tercinta, generasi salaf dari umat ini lebih bersemangat dari pada kita di atas kebaikan. Karena itu mereka sangat menjauhi mencela dan mengutuk, dan membersihkan lisan mereka dengan berzikir, bersyukur, berdoa, memuji, dan membaca kitabullah Subhanahu wa Ta’ala. Dan di antara yang diriwayatkan dari mereka dalam hal itu adalah:
- az-Zuraiqan berkata: Aku berada di sisi Abu Wail, lalu aku mencela Hajjaj dan menyebutkan keburukannya. Maka Abu Wail berkata: ‘Tahukah kamu, barangkali ia berkata: Ya Allah, ampunilah aku, lalu Dia Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya.’
- Ashim bin Abi Najud berkata: Aku belum pernah mendengar Abu Wail saudara Ibnu Salamah mencela manusia dan tidak pula binatang.
- al-Mutsannan bin Shabah berkata: selama empat puluh tahun Wahab bin Munabbih tidak pernah mencela sesuatu yang punya ruh.
- Dari Salim, ia berkata: Ibnu Umar Radhiyallahu anhu tidak pernah mencela pembantunya kecuali satu kali, lalu ia memerdekakannya. Janganlah engkau menjadi penolong syetan terhadap saudaramu.
- Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: ‘Apabila engkau melihat saudaramu melakukan dosa, maka janganlah engkau menjadi penolong syetan atasnya. Kamu mengatakan: Ya Allah, hinakanlah dia, ya Allah kutuklah dia, akan tetapi mohonlah afiyah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sesungguhnya kami para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tidak mengatakan sesuatu kepada seseorang sampai kami mengetahui bagaimana wafatnya. Maka jika ia ditutup dengan kebaikan, kami mengetahui bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Dan jika ia disudahi dengan keburukan niscaya kami merasa khawatir terhadap amal perbuatannya.
- Diriwayatkan bahwa Abu Darda Radhiyallahu anhu melewati orang yang melakukan dosa, maka mereka mencelanya, maka Abu Darda Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: Bagaimana pendapatmu jika kamu menemukannya di dalam sumur, bukanlah kamu mengeluarkannya? Mereka menjawab: tentu. Ia berkata: Maka janganlah kamu mencela saudaramu, dan pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menyelamatkanmu.’ Mereka bertanya: Apakah engkau membecinya? Ia menjawab: Saya membenci perbuatannya, maka apabila ia meninggalkannya maka dia adalah saudara saya.’
Jika kaum muslimin melaksanakan muamalah dengan akhlak yang mulia ini, jiwa yang bersih, dan dada yang lapang niscaya berubahlah kondisi mereka dan besarlah pengaruh mereka pada diri mereka dan selain mereka dari non muslim. Ketahuilah, hendaklah kaum muslimin kembali kepada akhlak nubuwah dan adab kerasulan, agar kembali kemuliaan mereka kepada mereka, dan jadilah mereka umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, seperti para pendahulu mereka.
Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya.
[Disalin dari لاتكن لعاناً Penulis : Div. Ilmiyah Situs http://www.kalemat.org, Penerjemah : Muhammad Iqbal Ghazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/57703-jangan-suka-mengutuk-melaknat.html